Blogger Widgets Arum.S

Laman

Selasa, 26 April 2016

ISS EVALUASI NILAI APGAR, RESUSITASI, BONDING ATTACHMENT DAN PEMBERIAN ASI AWAL


EVALUASI NILAI APGAR, RESUSITASI, BONDING ATTACHMENT DAN PEMBERIAN ASI AWAL

A.      Evaluasi Nilai APGAR
Nilai APGAR bukan hanya dipakai untuk menentukan kapan kita memulai tindakan tetapi lebih banyak kaitannya dalam memantau kondisi bayi dari waktu ke waktu. Nilai APGAR menit pertama untuk menentukan diagnosa (asfiksia/tidak) (Yanti, 2009; h. 252).
Menurut Yanti (2009; h. 252), cara penilaan Apgar pada BBL
Tampilan
0
1
2
Nilai
A
Appearance (warna kulit)
Pucat
Badan merah, ekstremitas kebiruan
Seluruh tubuh kemerahan

P
Pulse
(denyut jantung)
Tidak ada
<100
>100

G
Grimance (reaksi terhadap rangsang)
Tidak ada
Menyeringai
Bersin/batuk

A
Activy (kontraksi otot)
Tidak ada
Ekstremitas sedikit fleksi
Gerakan aktif

R
Respiration (pernafasan)
Tidak ada
Lemah/tidak teratur
Menangis kuat




Menurut Yanti (2009; h. 253), apabila ternyata terjadi penyulit/gangguan kondisi vital pada BBL, maka nilai tampil dari tiap-tiap menit kehidupan bayi dapat dijadikan tolok ukur perkembangan kondisi vital bayi baru lahir sebagai berikut:
1.         Bagaimana kondisi bayi sesaat setelah lahir, menit pertama, menit kelima dan pada menit-menit selanjutnya.
2.         Apakah kondisi bayi lebih baik pada lima menit pertama / malah memburuk, jika dibandingkan dengan menit pertama kelahirannya.


Menurut Yanti (2009; h. 253-256), pembagian Asfiksia yaitu:
1.         Asfiksia ringan (nilai AS 7-9) => Normal AS 10
a.       Tachypnea, nafas 90 x / menit
b.      Bayi tampak sianosis
c.       Ada retraksi sela-iga
d.      Bayi merintih
e.       Adanya pernafasan cuping hidung
f.       Bayi kurang aktivitas
g.      Dari pemeriksaan auskultasi diperoleh hasil:
1)      Ronchi (+)
2)      Rales (+)
3)      Wheezing (+)
Penanganan bayi setelah lahir:
a.       Bersihkan jalan nafas dengan menghisap lendir/kasa steril
b.      Nilai APGAR 1 menit pertama untuk menentukan ada tidaknya asfiksia
c.       Keringkan badan bayi
d.      Agar bayi tidak kedinginan letakkan bayi di dada/perut ibu
e.       Sambil menunggu penilaian APGAR 5 menit:
1)      Periksa ada tidaknya cacat bawaan
2)      Potong tali pusat
f.       Jika nilai APGAR 5 menit sama atau lebih besar dari 7 maka bayi direncanakan untuk rawat gabung
g.      Bungkus badan bayi dengan kain
h.      Letakkan di dada ibu dan segera menyusui
i.        Rencana memandikan setelah 6 jam lahir
2.         Asfiksia sedang (nilai AS 4-6)
Tanda dan Gejala :
a.         Frekwensi jantung menurun 60-80 x/menit
b.        Usaha nafas lambat
c.         Tonus otot, biasanya dalam keadaan baik
d.        Bayi masih bisa memberi reaksi terhadap rangsang yang diberikan
e.         Bayi tampak sianosis
Penanganan BBL segera setelah lahir :
a.         Bersihkan jalan nafas (sama seperti bayi lahir normal)
b.        Usahakan bayi bernafas spontan
1)      Beri O2 lewat hidung
2)      Beri rangsangan taktil dengan menggosok pnggung
Jika cara diatas tidak berhasil maka lakukan pernafasan buatan ‘’mouth to mouth’’ atau dengan ‘’Balon dan masker’’ (ambu bag)
a.         Jika bayi bisa bernafas spontan sambil menunggu nilai APGAR 5 menit pertama lakukan penilaian ada tidaknya cacat bawaan
b.        Bila nilai APGAR 5 sama / >7 bayi direncanakan untuk rawat gabung
c.         Potong tali pusat
d.        Bungkus badan bayi dengan kain
3.         Asfiksia berat (nilai AS 0-3)
Tanda dan gejala
a.       Frekwensi jantung kecil < 40 x/menit
b.      Tidak ada usaha nafas
c.       Tonus otot lemah bahkan hampir tidak ada
d.      Bayi tidak dapat mempertahankan reaksi terhadap rangsangan yang diberikan
e.       Bayi tampak pucat, bahkan sampai berwarna kelabu
f.       Terjadi kekurangan oksigen yang berlanjut sebelum/sesudah persalinan
Penanganan bayi baru lahir
Bayi dengan asfiksia berat sementara ditangani à rujuk rumah sakit
Penanganan bayi segera setelah lahir :
a.       Bersihkan jalan nafas
b.      Keringkan badan bayi
c.       Segera lakukan tindakan :
1)      Potong tali pusat
2)      Letakkan bayi diatas meja periksa dengan alas hangat, datar dan cukup keras
3)      Segera lakukan resusitasi
a.       Pasang langioskop
b.      Lakukan penghisapan lendir
c.       Pasang endotrakeal Tube (ET)
1)      Lakukan pernafasan buatan
2)      Berikan O2 lembab dengan ‘’AMBU BAG’’ atau ‘’mouth to Mouth’’
3)      Lakukan pijat jantung bila DJJ < 60 x/menit, 1 x nafas buatan, 3 x pijat jantung
4)      Beri bikarbonat natrikus 1-2 mg/kg BB ke dalam Dektrose 5-10 % diberikan secara IV melalui umbilikus dengan jarum setelah 3-4 menit usaha nafas spontan gagal.
Menurut Maureen Boyle (2007; h. 25), penyebab kegagalan bayi baru lahir untuk melakukan respirasi:
1.      Kejadian intrapartum yang merugikan, misalnya persalinan sulit, gawat janin.
2.      Obat yang diberikan kepada ibu.
3.      Imaturitas
4.      Sepsis
5.      Abnormalitas system respirasi, seperti hernia diafragma, obstruksi.
6.      Trauma.

B.     Resusitasi
Pada umumnya bayi baru lahir mengalami gangguan pernafasan biasanya disebabkan karena pada saluran pernafasan bayi tersumbat oleh lendir/terjadinya asfiksia. Gangguan pernafasan juga dapat disebabkan karena nilai APGAR Score BBL yang rendah (<7). Kita sebagai petugas kesehatan hal yang pertama kita lakukan apabila menemukan kasus seperti ini maka kita perlu menangani dengan cara membersihkan jalan nafas BBL tersebut/dengan cara resusitasi (yanti. 2009; h. 256).
Untuk melakukan pembersihan jalan nafas (resusitasi) kita perlu menangani dulu langkah-langkah atau cara kerja dari resusitasi tersebut. Apabila BBL dengan asfiksia ringan/berat dan tidak segera dilakukan resusitasi (pembersihan jalan nafas) maka akan menyebabkan bayi bernafas megap-megap, sukar bernafas disebabkan karena tersumbatnya pernafasan bahkan dapat mengakibatkan kematian pada BBL (yanti. 2009; h. 257).
Menurut Denise Tiran (2005; h. 7), kemungkinan asfiksia neonatorum harus di antisipasi jika terdapat tanda-tanda hipoksia janin selama persalinan. Bidan harus memeriksa dan mempersiapkan peralatan resusitasi serta memberitaukan dokter spesialis anak untuk siaga. Pada saat kelahiran, bidan harus:
1.      Mencatat waktunya.
2.      Melakukan aspirasi lender dan naso-orofaring bayi.
3.      Memotong tali pusat.
4.      Mengeringkan dan membungkus bayi dengan kain hangat.
5.      Menempatkan bayi dalam boks atau incubator dengan alat pemanas dan dalam posisi telentang dengan kepala sedikit lebih rendah serta berada dalam keadaan ekstensi.
6.      Menilai skor Apgar pada menit pertama.
Menurut Kenneth Leveno (2009; h. 285-287), protokol untuk resusitasi neonates berikut dianjurkan oleh American Academy Of Pediatriks dan American Health Asociation:
1.      Mencegah kehilangan panas
Letakkan bayi telentang dalam tempat tidur berpenghangat radiasi dan keringkan cairan amnion.
2.      Membuka jalan nafas
Jalan nafas dibuka dengan mengisap mulut dan lubang hidung jika tidak terdapat mekonium. Jika terdapat mekonium, trakea mungkin memerlukan pengisapan secara langsung.
3.      Evaluasi bayi
Amati pernafasan, kecepatan jantung, dan warna untuk menentukan langkah-langkah apa saja yang diperlukan. Tiga langkah awal ini harus dilakukan dalam 20 detik atau kurang.
4.      Upaya bernafas
Mula-mula evaluasi upaya bernafas. Jika tidak ada, lakukan ventilasi tekanan-positif. Jika ada, evaluasi kecepatan jantung.
5.      Kecepatan jantung
Kemudian periksa denyut jantung. Jika kecepatannya <100 denyut/menit, diberikan ventilasi tekanan postitif (lewati hingga langkah 7). Jika kecepatan > 100 denyut/menit, lanjutkan dengan evaluasi warna bayi.
6.      Warna
Evaluasi warna dilakukan terakhir. Jika bayi tampak merah muda, atau hanya memperlihatkan sianosis ringan di perifer, lanjutkan pengamatan biasa. Jika bayi memperlihatkan sianosis sentral, diberikan oksigen aliran bebas dengan konsentrasi 80 hingga 100 % hal ini dilanjutkan bayi masih sianotik.
7.      Kecepatan jantung (lanjutan)
Kecepatan jantung di evaluasi setelah 15 hingga 30 detik pemberian ventilasi tekanan sampai positif. Jika kecepatan jantung sekarang lebih dari 100 denyut/menit, lakukan evaluasi warna, seperti pada langkah 6. Jika kecepatan jantung antara 60 dan 100 denyut/menit, kemudian meningkat ventilasi dilanjutkan. Jika kecepatan jantung kurang dari 60 atau kurang dari 80 denyut/menit dan tidak meningkat, ventilasi dilanjutkan dan dimulai penekanan dada. Pada keadaan ini harus dipertimbangkan pemasangan inkubasi trakea.
8.      Penekanan dada
Mulai penekanan dada kecepatan 2x/detik dengan jeda 1/2 detik setiap 3x penekanan untuk ventilasi. Penekanan dihentikan setiap 30 detik selama 6 detik sementara kecepatan jantung diperiksa. Jika denyut jantung tetap kurang dari 80 denyut/menit setelah 30 detik ventilasi dan penekanan dada, dimulai resusitasi kimiawi.
9.      Resusitasi kimiawi
Resusitasi kimiawi terdiri dari epinefrin, ekstansi volume, dan mungkin nalokson. Untuk neonates premature dan aterm, nalokson sebaiknya diberikan melalui intravena atau intratekal dengan dosis 0,1 mg/kg.
10.  Inkubasi trakea
Inkubasi trakea diberikan pada 4 keadaan yaitu jika diperlukan tekanan positif jangka panjang, jika fentilasi melalui kanting dan masker tidak efektif, jika diperlukan penghisapan melalui trakea, dan jika dicurigai terjadinya hernia diafragmatika.

C.    Bounding Attachment
Bonding Attachment dapat dimulai pada saat persalinan memasuki kala IV, dengan cara diadakan kontak antara ibu-ayah-anak yang dalam ikatan kasih.
Bonding attachment menurut beberapa ahli, antara lain:
1.    Klause dan Kennel (1983); interaksi orang tua dan bayi secara nyata. Baik fisik, emosi, maupun sensori pada beberapa menit dan jam pertama segera setelah bayi lahir.
2.    Nelson (1986): bounding adalah dimulainya interaksi emosi sensorik fisik antara orang tua dan bayi segera setelah lahir, sedangkan attachment adalah ikatan yang terjalin di antara individu yang terjalin di antara individu yang meliputi pencurahan perhatian, yaitu hubungan emosi dan fisik yang akrab.
3.    Bennet dan Brown (1999): bounding adalah terjadinya hubungan orang tua dan bayi sejak awal kehidupan, sedangkan attahment adalah pencurahan kasih sayang di antara individu.
Jadi dapat disimpulkan, Bounding attachment adalah suatu ikatan yang terjadi di antara orang tua dan bayi baru lahir, yang meliputi pemberian kasih sayang dan pencurahan perhatian yang saling tarik menarik. (Bahiyatun.2009.h;54)
Menurut Wafi nur muslihatun (2010; h. 53), berikut ini tahap-tahap terjadinya ikatan batin (bonding attachment) antara orang tua dan bayi:
1.      Perkenalan (acquantance), dengan melakukan kontak mata, menyentuh, berbicara, dan mengeksplorasi segera setelah mengenal bayinya. Menurut Klaus, Kenell (1982), perkenalan ini merupakan bagian penting dari terbentuknya sebuah ikatan.
2.      Bonding (keterikatan).
3.      Attachment, perasaan sayang yang mengikat individu dengan individu.

Menurut Wafi nur muslihatun (2010; h. 53-55), elemen-elemen bounding attachment yaitu:
1.         Sentuhan
Sentuhan, atau indera peraba, dipakai secara ekstensif oleh orangtua dan pengasuh lain sebagai suatu sarana untuk mengenali bayi baru lahir dengan cara mengeksplorasi tubuh bayi dengan ujung jarinya. Penelitian telah menemukan suatu pola sentuhan yang hampir sama yakni pengasuh memulai eksplorasi jari tangan ke bagian kepala dan tungkai kaki. Tidak lama kemudian pengasuh memakai telapak tangannya untuk mengelus badan bayi dan akhirnya memeluk dengan tangannya(Rubin,1963;Kennell,1982;Tulman,1985). Gerakan ini dipakai untuk menenangkan bayi.
2.         Kontak Mata
Ketika bayi baru lahir mampu secara fungsional mempertahankan kontak mata, orang tua dan bayi akan menggunakan lebih banyak waktu untuk saling memandang. Beberapa ibu mengatakan, dengan melakukan kontak mata mereka merasa lebih dekat dengan bayinya (Kennell, 1982).
3.         Suara
Saling mendengar dan meresponi suara antara orang tua dan bayinya juga penting. Orang tua menunggu tangisan pertama bayinya dengan tegang, sedangkan bayi akan menjadi tenang dan berpaling ke arah orang tua mereka saat orang tua mereka berbicara dengan suara bernada tinggi.
4.         Aroma
Perilaku lain yang terjadi antara orang tua dan bayi ialah respons terhadap aroma/bau masing-masing, Ibu mengetahui bahwa setiap anak memiliki aroma yang unik (Porter, Cernoch, Perry, 1983). Sementara itu bayi belajar dengan cepat untuk membedakan aroma susu ibunya (Stainto, 1985)
5.         Entrainment
Bayi baru lahir bergerak-gerak sesuai dengan struktur pembicara orang dewasa. Bayi menggoyangkan tangan, mengangkat kepala, menendang-nendangkan kaki, seperti sedang berdansa mengikuti nada suara orang tuanya. Entrainment terjadi saat anak mulai berbicara. Irama ini berfungsi memberi umpan balik positif kepada orang tua dan menegakkan suatu pola komunikasi efektif yang positif.
6.         Bioritme
Anak yang belum lahir atau baru lahir dapat dikatakan senada dengan ritme alamiah ibunya. Untuk itu, salah satu tugas bayi batu lahir ialah membentuk ritme personal (bioritme). Orang tua dapat membantu proses ini dengan memberi kasih sayang yang konsisten dan dengan memanfaatkan waktu saat bayi mengembangkan perilaku yang responsif. Hal ini dapat meningkatkan interaksi sosial dan kesempatan bayi untuk belajar.
7.         Kontak Dini
Saat ini, tidak ada bukti-bukti alamiah yang menunjukkan bahwa kontak dini setelah lahir merupakan hal yang penting untuk hubungan orang tua dan anak. Namun menurut Kennel diperoleh dari kontak dini, di antaranya adalah kadar oksitosin dan prolaktin meningkat, reflek menghisap dilakukan lebih mempercepat proses ikatan antara orang tua dan anak.
Body warmth (kehangatan tubuh), waktu pemberian kasih sayang dan stimulasi hormonal adalah elemen lain dalam pelaksanaan bonding attachment.

Menurut Marmi (2014; h. 69-70), prinsip dan upaya meningkatkan bonding attachment
1.      Dilakukan segera (menit pertama jam pertama).
2.      Sentuhan orang tua pertama kali.
3.      Adanya ikatan yang baik dan sistematis berupa kedekatan orangtua atau anak.
4.      Kesehatan emosiaonal orang tua.
5.      Terlibat pemberian dukungan dalam proses persalinan.
6.      Persiapan PNC sebelumnya.
7.      Adaptasi .
8.      Tingkat kemampuan, komunikasi dan ketrampilan untuk merawat anak.
9.      Kontak sedini mungkin sehingga dapat membantu dalam memberi kehangatan pada bayi, menurunkan rasa sakit ibu, serta memberi rasa nyaman.
10.  Fasilitas untuk kontak lebih lama.
11.  Penekanan pada hal-hal positif.
12.  Perawat maternitas khusus (Bidan).
13.  Libatkan anggota keluarga lainya atau dukungan sosial dari keluarga, teman dan pasangan.
14.  Informasi bertahap mengenai bonding attachment.

Menurur Marmi (2014; h. 70), keuntungan bounding attachment:
1.      Bayi merasa dicintai, diperhatikan, mempercayai, menumbuhkan sikap sosial.
2.      Bayi merasa aman, berani mengadakan eksplorai.
keuntungan fisiologis :
1.      Kadar oksitosin dan prolaktin meningkat.
2.      Reflek menghisap dilakukan dini.
3.      Pembentukan kekebalan aktif dimulai.
4.      Mempercepat proses ikatan antara orang tua dan anak (body warmth (kehangatan tubuh). Waktu pemberian kasih sayang: simulasi hormonal).

Menurut Marmi (2014; h. 70-71), hambatan bonding attachment:
1.      Kurangnya support sistem.
2.      Ibu dengan resiko ( ibu sakit).
3.      Bayi dengan resiko ( bayi premature, bayi sakit, bayi dengan cacat fisik)
Bayi yang baru dilahirkan dalam keadaan premature, sakit dan cacat kurang mendapatkan kasih sayang dari ibunya karena kondisi belum cukup viable (kelangsungan hidup terus) dan belum cukup untuk menyesuaikan diri dengan ekstra uterin, bahkan bayi diletakkan dalam incubator atau terpisah dari ibu sampai bayi dapat hidup sebagai individu yang mandiri.
4.      Kehadiran bayi yang tidak diinginkan.
D.    Pemberian ASI Awal/Inisiasi Menyusui Dini (IMD)
Bayi normal disusui segera setelah lahir. Lamanya disusui hanya untuk satu dan dua menit pada setiap payudara ibu. Dengan mengisapnya, bayi terjadi perangsangan terhadap pembentukan Air Susu Ibu yang secara tak langsung rangsang isap membantu mempercepat pengecilan uterus. Walaupun air susu ibu yang berupa kolostrum itu hanya bisa diisap beberapa tetes, ini sudah cukup untuk kebutuhan bayi dalam hari-hari pertama. Kadang-kadang ibu keberatan untuk menyusui bayinya dengan alasan asi belum keluar. Dalam hal ini ibu harus diberi penjelasan sebaik-baiknya tentang maksud dan tujuan pemberian ASI sedini mungkin. Pada hari ketiga bayi sudah harus menyusu selama 10 menit pada mammae ibu dengan jarak waktu tiap 3 jam. Apabila diantara waktu itu bayi menangis karena lapar, ia boleh disusui pada satu mammae secara bergantian. Dengan demikian kebutuhan on demand, pada minggu-minggu berikutnya sudah dapat dipenuhi kebutuhannya dengan minum setiap 3-4 jam (Sumarah, dkk. 2009; h. 179).
Menurut Sumarah (2009; h. 179), pemberian ASI harus dianjurkan pada ibu yang melahirkan karena :
1.         ASI yang pertama (kolustrum) mengandung beberapa antibody yang dapat mencegah infeksi pada bayi. ASI diperkirakan dapat mengirimkan limfosit ibu ke dinding usus bayi dan memulai proses imunologik sehingga memberikan imunitas pasif pada bayi terhadap penyakit infeksi tertentu hingga mekanisme itu sepenuhnya berfungsi setelah 3 sampai 4 bulan.
2.         Bayi yang minum ASI jarang menderita gastroenteritis.
3.         Lemak dan protein ASI mudah dicerna dan diserap secara lengkap dalam saluran pencernaan, ASI adalah susu yang paling baik untuk pertumbuhan serta tidak mungkin menyebabkan kegemukan.
4.         Kemungkinana bayi menderita kejang oleh karena hipokalsemia sangat sedikit.
5.         Pemberian ASI merupakan satu-satunya jalan ynag paling baik untuk mengeratkan hubungan antara ibu dan bayi, dan ini sangat dibutuhkan bagi perkembangan bayi yang normal terutama pada bulan-bulan pertama kehidupannya.
6.         Menyusui mempercepat involusi uterus karena pengisapan putting susu akan merangsang pelepasan oksitosin sehingga menyebabkan peningkatan kontraksi uterus.

DAFTAR PUSTAKA

Bahiyatun. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. EGC: Jakarta
Boyle.Maureen.2007.Kedaruratan dalam Persalinan.EGC:Jakarta
Leveno,Kenneth J. 2009. Obstetri Williams Panduan Ringkas. EGC:Jakarta
Marmi.2014. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Muslihatun, Wafi Nur. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Citramaya: yogyakarta
Sumarah. 2009. Perawatan Ibu Bersalin. Fitramaya: Yogyakarta
Yanti. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Persalinan. Pustaka Rihama: Yogyakarta
Widyaastuti,palupi.2005. Kamus Saku Besar.EGC:Jakarta