EVALUASI
NILAI APGAR, RESUSITASI, BONDING ATTACHMENT DAN PEMBERIAN ASI AWAL
A.
Evaluasi
Nilai APGAR
Nilai APGAR bukan hanya dipakai untuk
menentukan kapan kita memulai tindakan tetapi lebih banyak kaitannya dalam
memantau kondisi bayi dari waktu ke waktu. Nilai APGAR menit pertama untuk
menentukan diagnosa (asfiksia/tidak)
(Yanti, 2009; h. 252).
Menurut Yanti (2009; h.
252), cara penilaan Apgar pada BBL
Tampilan
|
0
|
1
|
2
|
Nilai
|
|
A
|
Appearance
(warna kulit)
|
Pucat
|
Badan merah,
ekstremitas kebiruan
|
Seluruh tubuh
kemerahan
|
|
P
|
Pulse
(denyut
jantung)
|
Tidak ada
|
<100
|
>100
|
|
G
|
Grimance
(reaksi terhadap rangsang)
|
Tidak ada
|
Menyeringai
|
Bersin/batuk
|
|
A
|
Activy
(kontraksi otot)
|
Tidak ada
|
Ekstremitas
sedikit fleksi
|
Gerakan aktif
|
|
R
|
Respiration
(pernafasan)
|
Tidak ada
|
Lemah/tidak
teratur
|
Menangis kuat
|
|
Menurut Yanti (2009; h.
253), apabila ternyata terjadi
penyulit/gangguan kondisi vital pada BBL, maka nilai tampil dari tiap-tiap
menit kehidupan bayi dapat dijadikan tolok ukur perkembangan kondisi vital bayi
baru lahir sebagai berikut:
1.
Bagaimana kondisi bayi
sesaat setelah lahir, menit pertama, menit kelima dan pada menit-menit selanjutnya.
2.
Apakah kondisi bayi
lebih baik pada lima menit pertama / malah memburuk, jika dibandingkan dengan
menit pertama kelahirannya.
Menurut Yanti (2009; h. 253-256), pembagian
Asfiksia yaitu:
1.
Asfiksia ringan (nilai
AS 7-9) => Normal AS 10
a. Tachypnea,
nafas 90 x / menit
b. Bayi
tampak sianosis
c. Ada
retraksi sela-iga
d. Bayi
merintih
e. Adanya
pernafasan cuping hidung
f. Bayi
kurang aktivitas
g. Dari
pemeriksaan auskultasi diperoleh hasil:
1) Ronchi
(+)
2) Rales
(+)
3) Wheezing
(+)
Penanganan
bayi setelah lahir:
a. Bersihkan
jalan nafas dengan menghisap lendir/kasa steril
b. Nilai
APGAR 1 menit pertama untuk menentukan ada tidaknya asfiksia
c. Keringkan
badan bayi
d. Agar
bayi tidak kedinginan letakkan bayi di dada/perut ibu
e. Sambil
menunggu penilaian APGAR 5 menit:
1) Periksa
ada tidaknya cacat bawaan
2) Potong
tali pusat
f. Jika
nilai APGAR 5 menit sama atau lebih besar dari 7 maka bayi direncanakan untuk
rawat gabung
g. Bungkus
badan bayi dengan kain
h. Letakkan
di dada ibu dan segera menyusui
i.
Rencana memandikan
setelah 6 jam lahir
2.
Asfiksia sedang (nilai
AS 4-6)
Tanda dan Gejala :
a.
Frekwensi jantung
menurun 60-80 x/menit
b.
Usaha nafas lambat
c.
Tonus otot, biasanya
dalam keadaan baik
d.
Bayi masih bisa memberi
reaksi terhadap rangsang yang diberikan
e.
Bayi tampak sianosis
Penanganan
BBL segera setelah lahir :
a.
Bersihkan jalan nafas
(sama seperti bayi lahir normal)
b.
Usahakan bayi bernafas
spontan
1) Beri
O2 lewat hidung
2) Beri
rangsangan taktil dengan menggosok pnggung
Jika
cara diatas tidak berhasil maka lakukan pernafasan buatan ‘’mouth to mouth’’ atau dengan ‘’Balon dan masker’’ (ambu bag)
a.
Jika bayi bisa bernafas
spontan sambil menunggu nilai APGAR 5 menit pertama lakukan penilaian ada
tidaknya cacat bawaan
b.
Bila nilai APGAR 5 sama
/ >7 bayi direncanakan untuk rawat gabung
c.
Potong tali pusat
d.
Bungkus badan bayi
dengan kain
3.
Asfiksia berat (nilai
AS 0-3)
Tanda dan gejala
a. Frekwensi
jantung kecil < 40 x/menit
b. Tidak
ada usaha nafas
c. Tonus
otot lemah bahkan hampir tidak ada
d. Bayi
tidak dapat mempertahankan reaksi terhadap rangsangan yang diberikan
e. Bayi
tampak pucat, bahkan sampai berwarna kelabu
f. Terjadi
kekurangan oksigen yang berlanjut sebelum/sesudah persalinan
Penanganan
bayi baru lahir
Bayi
dengan asfiksia berat sementara ditangani Ã
rujuk rumah sakit
Penanganan
bayi segera setelah lahir :
a. Bersihkan
jalan nafas
b. Keringkan
badan bayi
c. Segera
lakukan tindakan :
1) Potong
tali pusat
2) Letakkan
bayi diatas meja periksa dengan alas hangat, datar dan cukup keras
3) Segera
lakukan resusitasi
a. Pasang
langioskop
b. Lakukan
penghisapan lendir
c. Pasang
endotrakeal Tube (ET)
1) Lakukan
pernafasan buatan
2) Berikan
O2 lembab dengan ‘’AMBU BAG’’ atau ‘’mouth to Mouth’’
3) Lakukan
pijat jantung bila DJJ < 60 x/menit, 1 x nafas buatan, 3 x pijat jantung
4) Beri
bikarbonat natrikus 1-2 mg/kg BB ke dalam Dektrose 5-10 % diberikan secara IV
melalui umbilikus dengan jarum setelah 3-4 menit usaha nafas spontan gagal.
Menurut Maureen Boyle (2007;
h. 25), penyebab kegagalan bayi baru lahir untuk melakukan respirasi:
1.
Kejadian
intrapartum yang merugikan, misalnya persalinan sulit, gawat janin.
2.
Obat yang
diberikan kepada ibu.
3.
Imaturitas
4.
Sepsis
5.
Abnormalitas
system respirasi, seperti hernia diafragma, obstruksi.
6.
Trauma.
B. Resusitasi
Pada umumnya bayi baru lahir mengalami
gangguan pernafasan biasanya disebabkan karena pada saluran pernafasan bayi
tersumbat oleh lendir/terjadinya asfiksia. Gangguan pernafasan juga dapat
disebabkan karena nilai APGAR Score BBL yang rendah (<7). Kita sebagai
petugas kesehatan hal yang pertama kita lakukan apabila menemukan kasus seperti
ini maka kita perlu menangani dengan cara membersihkan jalan nafas BBL
tersebut/dengan cara resusitasi
(yanti. 2009; h. 256).
Untuk melakukan
pembersihan jalan nafas (resusitasi) kita perlu menangani dulu langkah-langkah
atau cara kerja dari resusitasi tersebut. Apabila BBL dengan asfiksia
ringan/berat dan tidak segera dilakukan resusitasi (pembersihan jalan nafas) maka
akan menyebabkan bayi bernafas megap-megap, sukar bernafas disebabkan karena
tersumbatnya pernafasan bahkan dapat mengakibatkan kematian pada BBL (yanti.
2009; h. 257).
Menurut Denise Tiran (2005;
h. 7), kemungkinan asfiksia neonatorum harus di antisipasi jika terdapat
tanda-tanda hipoksia janin selama persalinan. Bidan harus memeriksa dan
mempersiapkan peralatan resusitasi serta memberitaukan dokter spesialis anak
untuk siaga. Pada saat kelahiran, bidan harus:
1.
Mencatat
waktunya.
2.
Melakukan
aspirasi lender dan naso-orofaring bayi.
3.
Memotong tali
pusat.
4.
Mengeringkan dan
membungkus bayi dengan kain hangat.
5.
Menempatkan bayi
dalam boks atau incubator dengan alat pemanas dan dalam posisi telentang dengan
kepala sedikit lebih rendah serta berada dalam keadaan ekstensi.
6.
Menilai skor Apgar
pada menit pertama.
Menurut Kenneth
Leveno (2009; h. 285-287), protokol untuk resusitasi neonates berikut
dianjurkan oleh American Academy Of Pediatriks dan American Health Asociation:
1.
Mencegah
kehilangan panas
Letakkan bayi telentang dalam tempat tidur
berpenghangat radiasi dan keringkan cairan amnion.
2.
Membuka jalan
nafas
Jalan nafas dibuka dengan mengisap mulut dan lubang
hidung jika tidak terdapat mekonium. Jika terdapat mekonium, trakea mungkin
memerlukan pengisapan secara langsung.
3.
Evaluasi bayi
Amati pernafasan, kecepatan jantung, dan warna untuk
menentukan langkah-langkah apa saja yang diperlukan. Tiga langkah awal ini harus dilakukan dalam 20
detik atau kurang.
4.
Upaya bernafas
Mula-mula evaluasi upaya bernafas. Jika tidak ada,
lakukan ventilasi tekanan-positif. Jika ada, evaluasi kecepatan jantung.
5.
Kecepatan
jantung
Kemudian periksa denyut jantung. Jika kecepatannya
<100 denyut/menit, diberikan ventilasi tekanan postitif (lewati hingga
langkah 7). Jika kecepatan > 100 denyut/menit, lanjutkan dengan evaluasi
warna bayi.
6.
Warna
Evaluasi warna dilakukan terakhir. Jika bayi tampak
merah muda, atau hanya memperlihatkan sianosis ringan di perifer, lanjutkan
pengamatan biasa. Jika bayi memperlihatkan sianosis sentral, diberikan oksigen
aliran bebas dengan konsentrasi 80 hingga 100 % hal ini dilanjutkan bayi masih
sianotik.
7.
Kecepatan
jantung (lanjutan)
Kecepatan jantung di evaluasi setelah 15 hingga 30
detik pemberian ventilasi tekanan sampai positif. Jika kecepatan jantung
sekarang lebih dari 100 denyut/menit, lakukan evaluasi warna, seperti pada
langkah 6. Jika kecepatan jantung antara 60 dan 100 denyut/menit, kemudian
meningkat ventilasi dilanjutkan. Jika kecepatan jantung kurang dari 60 atau
kurang dari 80 denyut/menit dan tidak meningkat, ventilasi dilanjutkan dan
dimulai penekanan dada. Pada keadaan ini harus dipertimbangkan pemasangan
inkubasi trakea.
8.
Penekanan dada
Mulai penekanan dada kecepatan 2x/detik dengan jeda
1/2 detik setiap 3x penekanan untuk ventilasi. Penekanan dihentikan setiap 30
detik selama 6 detik sementara kecepatan jantung diperiksa. Jika denyut jantung
tetap kurang dari 80 denyut/menit setelah 30 detik ventilasi dan penekanan
dada, dimulai resusitasi kimiawi.
9.
Resusitasi
kimiawi
Resusitasi kimiawi terdiri dari epinefrin, ekstansi
volume, dan mungkin nalokson. Untuk neonates premature dan aterm, nalokson
sebaiknya diberikan melalui intravena atau intratekal dengan dosis 0,1 mg/kg.
10. Inkubasi trakea
Inkubasi trakea diberikan pada 4 keadaan yaitu jika
diperlukan tekanan positif jangka panjang, jika fentilasi melalui kanting dan
masker tidak efektif, jika diperlukan penghisapan melalui trakea, dan jika
dicurigai terjadinya hernia diafragmatika.
C.
Bounding Attachment
Bonding
Attachment dapat dimulai pada saat persalinan
memasuki kala IV, dengan cara diadakan kontak antara ibu-ayah-anak yang dalam
ikatan kasih.
Bonding attachment
menurut beberapa ahli, antara lain:
1. Klause
dan Kennel (1983); interaksi orang tua dan bayi secara nyata. Baik fisik,
emosi, maupun sensori pada beberapa menit dan jam pertama segera setelah bayi
lahir.
2. Nelson
(1986): bounding adalah dimulainya
interaksi emosi sensorik fisik antara orang tua dan bayi segera setelah lahir,
sedangkan attachment adalah ikatan
yang terjalin di antara individu yang terjalin di antara individu yang meliputi
pencurahan perhatian, yaitu hubungan emosi dan fisik yang akrab.
3. Bennet
dan Brown (1999): bounding adalah
terjadinya hubungan orang tua dan bayi sejak awal kehidupan, sedangkan attahment adalah pencurahan kasih sayang
di antara individu.
Jadi dapat disimpulkan,
Bounding attachment adalah suatu ikatan
yang terjadi di antara orang tua dan bayi baru lahir, yang meliputi pemberian
kasih sayang dan pencurahan perhatian yang saling tarik menarik. (Bahiyatun.2009.h;54)
Menurut Wafi nur muslihatun
(2010; h. 53), berikut ini tahap-tahap terjadinya ikatan
batin (bonding attachment) antara
orang tua dan bayi:
1. Perkenalan
(acquantance), dengan melakukan
kontak mata, menyentuh, berbicara, dan mengeksplorasi segera setelah mengenal
bayinya. Menurut Klaus, Kenell (1982), perkenalan ini merupakan bagian penting
dari terbentuknya sebuah ikatan.
2. Bonding
(keterikatan).
3. Attachment,
perasaan sayang yang mengikat individu dengan individu.
Menurut Wafi nur muslihatun
(2010; h. 53-55), elemen-elemen bounding
attachment yaitu:
1.
Sentuhan
Sentuhan, atau indera peraba, dipakai secara
ekstensif oleh orangtua dan pengasuh lain sebagai suatu sarana untuk mengenali
bayi baru lahir dengan cara mengeksplorasi tubuh bayi dengan ujung jarinya.
Penelitian telah menemukan suatu pola sentuhan yang hampir sama yakni pengasuh
memulai eksplorasi jari tangan ke bagian kepala dan tungkai kaki. Tidak lama
kemudian pengasuh memakai telapak tangannya untuk mengelus badan bayi dan
akhirnya memeluk dengan tangannya(Rubin,1963;Kennell,1982;Tulman,1985). Gerakan
ini dipakai untuk menenangkan
bayi.
2.
Kontak Mata
Ketika bayi baru lahir mampu secara
fungsional mempertahankan kontak mata, orang tua dan bayi akan menggunakan
lebih banyak waktu untuk saling memandang. Beberapa ibu mengatakan, dengan
melakukan kontak mata mereka merasa lebih dekat dengan bayinya (Kennell, 1982).
3.
Suara
Saling mendengar dan meresponi suara
antara orang tua dan bayinya juga penting. Orang tua menunggu tangisan pertama
bayinya dengan tegang, sedangkan bayi akan menjadi tenang dan berpaling ke arah
orang tua mereka saat orang tua mereka berbicara dengan suara bernada tinggi.
4.
Aroma
Perilaku lain yang terjadi antara orang
tua dan bayi ialah respons terhadap aroma/bau masing-masing, Ibu mengetahui
bahwa setiap anak memiliki aroma yang unik (Porter, Cernoch, Perry, 1983).
Sementara itu bayi belajar dengan cepat untuk membedakan aroma susu ibunya
(Stainto, 1985)
5.
Entrainment
Bayi baru lahir bergerak-gerak sesuai dengan
struktur pembicara orang
dewasa. Bayi menggoyangkan tangan, mengangkat kepala, menendang-nendangkan
kaki, seperti sedang berdansa mengikuti nada suara orang tuanya. Entrainment
terjadi saat anak mulai berbicara. Irama ini berfungsi memberi umpan balik
positif kepada orang tua dan menegakkan
suatu pola komunikasi efektif yang positif.
6.
Bioritme
Anak yang belum lahir atau baru lahir
dapat dikatakan senada dengan ritme alamiah ibunya. Untuk itu, salah satu tugas
bayi batu lahir ialah membentuk ritme
personal (bioritme). Orang tua dapat membantu proses ini dengan memberi
kasih sayang
yang konsisten dan dengan memanfaatkan waktu saat bayi mengembangkan perilaku
yang responsif. Hal ini dapat meningkatkan interaksi sosial dan kesempatan bayi
untuk belajar.
7.
Kontak Dini
Saat ini, tidak ada bukti-bukti alamiah
yang menunjukkan bahwa kontak dini setelah lahir merupakan hal yang penting untuk
hubungan orang tua dan anak. Namun menurut Kennel diperoleh dari kontak dini,
di antaranya adalah kadar oksitosin dan prolaktin meningkat, reflek menghisap
dilakukan lebih mempercepat proses ikatan antara orang tua dan anak.
Body
warmth (kehangatan tubuh), waktu pemberian
kasih sayang dan stimulasi hormonal adalah elemen lain dalam pelaksanaan bonding attachment.
Menurut Marmi (2014; h.
69-70), prinsip dan upaya meningkatkan bonding attachment
1.
Dilakukan segera
(menit pertama jam pertama).
2.
Sentuhan orang tua
pertama kali.
3.
Adanya ikatan
yang baik dan sistematis berupa kedekatan orangtua atau anak.
4.
Kesehatan
emosiaonal orang tua.
5.
Terlibat
pemberian dukungan dalam proses persalinan.
6.
Persiapan PNC
sebelumnya.
7.
Adaptasi .
8.
Tingkat
kemampuan, komunikasi dan ketrampilan untuk merawat anak.
9.
Kontak sedini
mungkin sehingga dapat membantu dalam memberi kehangatan pada bayi, menurunkan
rasa sakit ibu, serta memberi rasa nyaman.
10. Fasilitas untuk kontak lebih lama.
11. Penekanan pada hal-hal positif.
12. Perawat maternitas khusus (Bidan).
13. Libatkan anggota keluarga lainya atau dukungan sosial
dari keluarga, teman dan pasangan.
14. Informasi bertahap mengenai bonding attachment.
Menurur Marmi (2014; h. 70), keuntungan bounding attachment:
1.
Bayi merasa
dicintai, diperhatikan, mempercayai, menumbuhkan sikap sosial.
2.
Bayi merasa
aman, berani mengadakan eksplorai.
keuntungan fisiologis :
1.
Kadar oksitosin
dan prolaktin meningkat.
2.
Reflek menghisap
dilakukan dini.
3.
Pembentukan
kekebalan aktif dimulai.
4.
Mempercepat
proses ikatan antara orang tua dan anak (body
warmth (kehangatan tubuh). Waktu pemberian kasih sayang: simulasi
hormonal).
Menurut
Marmi (2014; h. 70-71), hambatan bonding
attachment:
1.
Kurangnya support sistem.
2.
Ibu dengan
resiko ( ibu sakit).
3.
Bayi dengan
resiko ( bayi premature, bayi sakit, bayi dengan cacat fisik)
Bayi yang baru dilahirkan dalam keadaan premature,
sakit dan cacat kurang mendapatkan kasih sayang dari ibunya karena kondisi
belum cukup viable (kelangsungan
hidup terus) dan belum cukup untuk menyesuaikan diri dengan ekstra uterin, bahkan bayi diletakkan
dalam incubator atau terpisah dari ibu sampai bayi dapat hidup sebagai individu
yang mandiri.
4.
Kehadiran bayi
yang tidak diinginkan.
D. Pemberian ASI Awal/Inisiasi
Menyusui Dini (IMD)
Bayi normal disusui segera
setelah lahir. Lamanya disusui hanya untuk satu dan dua menit pada setiap
payudara ibu. Dengan mengisapnya, bayi terjadi perangsangan terhadap
pembentukan Air Susu Ibu yang secara tak langsung rangsang isap membantu
mempercepat pengecilan uterus. Walaupun air susu ibu yang berupa kolostrum itu
hanya bisa diisap beberapa tetes, ini sudah cukup untuk kebutuhan bayi dalam
hari-hari pertama. Kadang-kadang ibu keberatan untuk menyusui bayinya dengan
alasan asi belum keluar. Dalam hal ini ibu harus diberi penjelasan
sebaik-baiknya tentang maksud dan tujuan pemberian ASI sedini mungkin. Pada
hari ketiga bayi sudah harus menyusu selama 10 menit pada mammae ibu dengan
jarak waktu tiap 3 jam. Apabila diantara waktu itu bayi menangis karena lapar,
ia boleh disusui pada satu mammae secara bergantian. Dengan demikian kebutuhan on demand, pada minggu-minggu berikutnya
sudah dapat dipenuhi kebutuhannya dengan minum setiap 3-4 jam (Sumarah, dkk.
2009; h. 179).
Menurut Sumarah (2009; h. 179), pemberian ASI harus
dianjurkan pada ibu yang melahirkan karena :
1.
ASI yang pertama
(kolustrum) mengandung beberapa antibody yang dapat mencegah infeksi pada bayi.
ASI diperkirakan dapat mengirimkan limfosit ibu ke dinding usus bayi dan
memulai proses imunologik sehingga memberikan imunitas pasif pada
bayi terhadap penyakit infeksi tertentu hingga
mekanisme itu sepenuhnya berfungsi setelah 3 sampai 4 bulan.
2.
Bayi yang minum
ASI jarang menderita gastroenteritis.
3.
Lemak dan
protein ASI mudah dicerna dan diserap secara lengkap dalam saluran pencernaan,
ASI adalah susu yang paling baik untuk pertumbuhan serta tidak mungkin
menyebabkan kegemukan.
4.
Kemungkinana
bayi menderita kejang oleh karena hipokalsemia sangat sedikit.
5.
Pemberian ASI
merupakan satu-satunya jalan ynag paling baik untuk mengeratkan hubungan antara
ibu dan bayi, dan ini sangat dibutuhkan bagi perkembangan bayi yang normal
terutama pada bulan-bulan pertama kehidupannya.
6.
Menyusui
mempercepat involusi uterus karena pengisapan putting susu akan merangsang
pelepasan oksitosin sehingga menyebabkan peningkatan kontraksi uterus.
DAFTAR PUSTAKA
Bahiyatun. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal.
EGC: Jakarta
Boyle.Maureen.2007.Kedaruratan dalam Persalinan.EGC:Jakarta
Leveno,Kenneth
J. 2009. Obstetri Williams Panduan
Ringkas. EGC:Jakarta
Marmi.2014. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Muslihatun, Wafi Nur. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita.
Citramaya: yogyakarta
Sumarah. 2009. Perawatan Ibu Bersalin. Fitramaya:
Yogyakarta
Yanti. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Persalinan. Pustaka Rihama: Yogyakarta
Widyaastuti,palupi.2005.
Kamus Saku Besar.EGC:Jakarta