PELVIC
INFLAMMATORY DISEASE
A.
Pengertian
Penyakit Radang Panggul (PID: Pelvic Inflammatory Disease) adalah infeksi pada alat genital atas.
Proses penyakitnya dapat meliputi endometrium, tubafalopii, ovarium,
miometrium, parametria, dan peritonium panggul. PID adalah infeksi yang paling
peting dan merupakan komplikasi infeksi menular seksual yang paling biasa
(Sarwono,2011; h.227)
Pelvic
Inflamatory Disease adalah suatu kumpulan radang pada saluran
genital bagian atas oleh berbagai organisme, yang dapat menyerang endometrium, tuba
fallopi, ovarium
maupun miometrium secara perkontinuitatum maupun secara hematogen ataupun
sebagai akibat hubungan seksual. (Yani,2009;h.45)
Pelvic
Inflamatory Diseases (PID) adalah infeksi alat
kandungan tinggi dari uterus, tuba, ovarium, parametrium, peritoneum, yang tidak berkaitan dengan pembedahan dan
kehamilan. PID mencakup spektrum luas kelainan inflamasi alat kandungan tinggi
termasuk kombinasi endometritis, salphingitis, abses tuba ovarian dan
peritonitis pelvis. Biasanya mempunyai morbiditas yang tinggi. Batas antara
infeksi rendah dan tinggi ialah ostium uteri internum (Marmi, 2013; h.198)
Menurut Yani (2009;h.45-50) bentuk-bentuk PID:
1.
Endometritis
Endometritis
adalah suatu peradangan pada endometrium yang biasanya disebabkan oleh infeksi
bakteri pada jaringan.
Endometritis
paling sering ditemukan terutama:
a. Setelah
seksio sesarea
b. Partus
lama atau pecah ketuban yang lama
Diagnosa banding endometritis meliputi infeksi
traktus urinarius, infeksi pernafasan, septicemia, tromboflebitis pelvis, dan
abses pelvis.
Penatalaksanaan
pada endometritis:
a. Pemberian
antibotika dan drainase yang memadai
b. Pemberian
cairan intra vena dan elektrolit
c. Penggantian
darah
d. Tirah
baring dan analgesia
e. Tindakan
bedah
Menurut
Yani (2010;h.46-47) endometritis dibagi 2:
1) Endometritis
akut
Pada
endometritis akut endometrium mengalami endema dan hiperemi terutama terjadi
pada post partum dan post abortus.
Penyebab :
a) Infeksi
gonorhoe dan infeksi pada abortus dan partus
b) Tindakan
yang dilakukan di dalam uterus seperti pemasangan IUD, kuretase
Gejala-gejala
:
a) Demam
b) Lochia
berbau
c) Lochia
lama berdarah bahkan metrorhagia
d) Tidak
menimbulkan nyeri jika radang tidak menjalar ke parametrium atau perimetrium
Penatalaksanaan :
Dalam
pengobatan endometritis akut yang paling penting adalah berusaha mencegah agar
infeksi tidak menjalar. Adapun pengobatannya adalah:
a) Uterotonik
b) Istirahat,
letak fowler
c) Antibiotik
2) Endometritis
kronika
Endometritis tidak sering ditemukan. Pada
pemeriksaan microscopic ditemukan banyak sel-sel plasma dan limfosit
Gejala-gejala
klinis endometritis kronika :
a.) Leukorea
b.) Kelainan
haid seperti menorhagie dan metrorhagie.
Pengobatannya tergantung pada penyebabnya,
endometritis kronika ditemukan :
a.) Pada
tuberculosis
b.) Pada
sisa-sisa abortus atau partus yang tertinggal
c.) Terdapat
corpus alineum di cavum uteri
d.) Pada
polip uterus dengan infeksi
e.) Pada
tumor ganas uterus
f.) Pada
salpingo ooforitis dan selulitis pelvic
2.
Myometritis
Biasanya
tidak berdiri sendiri tetapi lanjutan dari endrometritis, maka gejala-gejala
dan terapinya sama dengan endrometritis. Diagnosa hanya dapat dibuat secara
patologi anatomis.
3.
Parametritis (celulit pelvica)
Parametritis
yaitu radang dari jaringan longgar didalam ligament latum. Radang ini biasanya
unilateral.
Diagnose
banding adnexitis
lebih tinggi dan tidak sampai kedinding panggul biasanya bilateral.
Etiologi
parametritis dapat terjadi:
a. Dari
endometritis dengan 3 cara
1) Percontinuitatum:
endometritis, metritis, paraetritis
2) Lymphogen
3) Haematogen:
phlebitis, periphelbitis, parametritis.
b. Dari
robekan servik
Perforasi uterus oleh alat-alat
(sonde, kuret, IUD).
Gejala:
1) Suhu
tinggi dengan demam menggigil
2) Nyeri
unilateral tanpa gejala rangsangan peritoneum, seperti muntah, derense dll.
Terapi antibiotic.
4.
Salpingitis akut
Diagnose
banding kehamilan ektopik, tidak ada demam, KED tidak tinggi, dan leokosite
tidak seberapa. Jika tes kehamilan positif, maka adneksitis dapat
dikesampingkan, tetapi jika negative keduanya mungkin.
Appendicitis
tempat nyeri tekan lebih tinggi (Mc burney).
Salpingitis
menjalar ke ovarium hingga terjadi oophoritis. Salpingitis dan oophoritis
diberi diberi nama adnexitis.
Etiologi
paling sering disebabkan oleh gonococcus, disamping itu oleh staphylococcus,
streptococcus dan bactery tbc.
Infeksi dapat terjadi sebagai
berikut:
a. Naik
dari kavum uteri
b. Menjalar
dari alat yang berdekatan seperti dari appendiks yang meradang
c. Haematogen
terutama salpingitis tuberculosa. Salpingitis biasanya bilateral.
Gejala:
a. Demam
tinggi dengan menggigil
b. Nyeri
perut kanan kiri bawah, terutama jika ditekan
c. Defense
kanan dan kiri atas ligament pourpart
d. Mual
dan muntah ada gejala abdomen akut karena terjadi rangsangan peritoneum
e. Terkadang
ada tendensi pada anus karena proses dekat pada rectum dan sigmoid
f. Pada
periksa dalam, nyeri jika portio digoyangkan, nyeri kiri dan kanan dari uterus
terkadang ada penebalan dari tuba.
5.
Pelvioperitonitis (Perimetritis)
Biasanya
terjadi sebagai lanjutan dari salpingoophoritis. Kadang – kadang terjadi dari
endometritis.
Etiologi :
a. GO
b. Sepsis
( Post partum dan post abortus )
c. Dari
appendicitis.
Pelvioperitonitis
dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan dari alat-alat dalam rongga panggul
dengan akibat perasaan nyeri atau ileus.
Dapat
dibedakan menjadi 2 bentuk:
a. Bentuk
yang menimbulkan perlekatan-perlekatan tanpa pembuatan nanah.
b. Bentuk
dengan pembentukan nanah yang menimbulkan douglas abses.
1) Pelvioperitonitis
akut
Gejala
: Nyeri diperut bagian bawah.
Diagnosa
:
Pada
periksa dalam teraba infiltrat dalam cavum douglasi, tapi kadang-kadang hanya ada
penebalan lipatan cavum douglasi
yang teraba sebagai piggir yang keras. Sebagai akibat pelveoperitonitis dapat
terjadi douglas abces. Douglas abcas
ini dapat pecah ke dalam rectum atau ke dalam fornix posterior vaginae.
Douglas
abses dapat terjadi karena :
a) Nanah
yang keluar dari salpingitis purulenta.
b) Pyosalping
yang pecah.
c) Haematocele
retrouterina yang terinfeksi.
d) Abses
ovarium yang pecah.
e) Dari
abses appendiculer.
f) Pelveoperitonitis
purulenta.
g) Perforasi
usus pada typus abdominalis ( terutama dinegara yang sedang berkembang).
Gejala :
a) Demam
intermitens, pasien menggigil.
b) Tanesmi
ad anum.
Diagnosa :
a) Pada
periksa dalam teraba masa yang kenyal yang berfluktuasi dalam cavum douglasi
dan nyeri tekan.
b) KED
tinggi dan gambaran darah toksis.
Diagnosa banding :
a) Haematocele
retroutenia : terjadi lambat laun dan setelah beberapa lama menjadi keras.
b) Tumor
tumor retrouterin: biasanya batas batasanya jelas, kadang kadang dapat
digerakkan.
c) Abses
dalam parametrium: terletak dalam ligamen sakro uterinum
Terapi :
a) Antibiotik
bordspecrtum
b) Istirahat
dalam letak flower
c) Opiat
untuk mengurangi rasa nyeri
d) Infus
untuk mempertahankan galance elektrolit
e) Dekompresi
dengan Abott Miller Tube
f) Pada
douglas abses dilakukan kolpotomia posterior , kalau setelah kolpotomi tidak segera ada perbaikan harus dicari
sebab-sebab ekstra genital, misal perforasi usus karena typus abdominalis.
B.
Etiologi
Kebanyakan
PID merupakan sekuele dari infeksi serviks karena penyakit menular seksual yang
terutama disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae dan Chlamidia trachomatis. Selain kedua
organisme ini,
mikroorganisme yang dapat menyebabkan terjadinya PID adalah:
a. Cytomegalovirus
(CMV) : CMV ditemukan di saluran genital bagian atas pada wanita yang mengalami
PID, diduga merupakan penyebab yang penting untuk terjadinya PID
b. Mikroflora
endogenic
c. Gardnerella
vaginalis
d. Haemophilus
influenza
e. Organisme
enteric gram negative (E.coli)
f. Spesies
peptococcus
g. Streptococcus
agalactia
h. Bacteroides
fragilis, yang dapat menyebabkan dekstruksi tuba dan epitel
(Marmi,2013;h.199)
C.
Manifestasi
Klinis
Gejala
pelvic inflamatory desease :
1. Tegang nyeri abdomen bagian bawah
2. Tegang nyeri adneksa unilateral dan bilateral
3. Tegang nyeri pada pergerakan servik
4. Temperatur di atas 38 o C
5. Pengeluaran cairan servik atau vagina abnormal
6. Peningkatan C reaktif protein
7. Pada pemeriksaan lendir servik dijumpai clamidia
trachomatis atau neisseria gonorhoe
8. Laju endap darah meningkat
Diagnosis
banding penyakit radang panggul adalah:
1.
Kehamilan ektopik yang pecah intak
2.
Toxis kista ovarium
3.
Appendicitis acuta
4.
Pervorasi dan typus abdominalis
(Yani,2009;
h.46)
D.
Komplikasi
Komplikasi
penyakit radang panggul (PRP) dapat berupa penyakit menaun dengan keluhan yang
tidak pernah sembuh, terjadinya
timbunan nanah dalam alat genetalia bagian dalam ( abses saluran telur dan
indung telur, pernanahan di pelvis bagian bawah ), penyebaran melalui darah
(sepsis), pernanahan
pecah sehinggga memerlukan tindakan darurat.
(Ida ayu chandranita manuaba,2006;h.19)
Menurut Ida ayu chandranita manuaba (2006;h.20) komplikasi lanjut
penyakit radang panggul dapat terjadi karena:
1. Penyakit
menahun dengan keluhan ketidaknyamanan di daerah kemaluan, gangguan menstruasi
nyeri saat menstruasi (dismenorea), nyeri saat berhubungan seks (disparenia).
Dan keputian (leukorea) yang sulit sembuh.
2. Adanya
infeksi penyakit hubungan seks atau melakukan gugur kandung yang kurang
legeartis (sesuai prosedur).
3. Pengobatan
penyakit hubungan sekssual yang gagal, yang mengakibatkan gangguan fungsi alat
genetalia bagian dalam.
E.
Penanganan
Terapi PID harus
ditunjukan untuk mencegah kerusakan tuba yang menyebabkan infertilitas dan
kehamilan ektopik, serta pencegahan infeksi kronik. Banyak pasien yang berhasil
diterapi dengan rawat jalan dan terapi rawat jalan dini harus menjadi
pendekatan terapeutik permulan. Pemilihan antibiotika harus ditunjukan pada
organisme
etiologic utama ( N. gonorrhea atau C. trahomatis) tetapi juga harus mengarah
pada sifat polimikrobial PID.
Untuk pasien
denagn PID ringan atau sedang terapi oral dan parenteral mempunyai daya guna
yang sama. Sebagian besar klinisi menganjurkan terapi parenteral paling tidak
selama 48 jam kemudian dilanjutkan dengan terapi oral 24 jam setelah ada
perbaikan klinis.
a. Rekomendasi
terapi parenteral
A
1) Sefotetan
2 g intravena setiap 12 jam atau
2) Sefoksitin
2 g intravena setiap 6 jam ditambah
3) Doksisiklin
100 mg oral atau parental setiap 12 jam
b. Rekomendasi
terapi parenteral
B
1) Klindamisin
900 mg setiap 8 jam ditambah
2) Gentamisin
dosis muatan intravena atau intramuskuler
(2 mg/kg berat badan) diikuti dengan dosis pemeliharaan (1,5 mg/kg berat
badan) setiap 8 jam.
Dapat digantikan dengan dosis tunggal harian.
c. Terapi
parenteral alternatif
Tiga terapi alternatif telah dicoba
dan mereka mempunyai cakupan spektrum yang luas.
1) Levofloksasin
500 mg intravena 1x sehari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg intravena
setiap 8 jam atau.
2) Ofloksasin
400 mg intravena setiap 12 jam dengan atau tanpa metronidazol 500 mg intravena
setiap 8 jam.
3) Ampisilin/sulbaktam
3 g intravena setiap 6 jam ditambah doksisiklin 100 mg oral atau intravena
setiap 12 jam.
2.
Terapi Oral
Terapi oral
dapat dipertimbangkan umtuk penderita PID ringan atau sedang karena kesudahan
klinisnya sama dengan terapi parenteral.
Pasien yang mendapat terapi oral dan tidak menunjukkan perbaikan setelah 72 jam
harus dire-evaluasi untuk memastikan diagnosanya dan diberikan terapi
parenteral baik dengan rawat jalan maupun inap.
a. Rekomendasi
terapi A
1) Levofloksasin
500 mg oral 1x setiap hari selama 14 hari atau doksisiklin 400 mg 2x sehari
selama 14 hari, dengan atau tanpa
2) Metronidazol
500 mg oral 2x sehari selama 14 hari.
b. Rekomendasi
terapi B
1) Seftriaxon
250 mg intramuskuler dosis tunggal ditambah doksisiklin oral 2x sehari selama
14 hari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg oral 2x sehari selama 14 hari,
atau
2) Sefoksitin
2 g intramuskuler dosis tunggal dan probenesid ditambah doksisiklin oral 2x sehari selama 14 hari
dengan atau tanpa metronidazol 500 mg oral 2x sehari selama 14 hari, atau
3) Sefalosporin
generasi ketiga (misal seftizoksin atau sefotaksim) ditambah doksisiklin oral
2x sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg oral 2x sehari
selama 14 hari.
(Sarwono.2011;h.230)
F.
Dampak
Sekitar 25 % pasien PID mengalami akibat buruk
jangka panjang. Infertilitas terjadi sampai 20 %. Perempuan dengan riwayat PID
mempunyai 6 sampai 10 kali lebih tinggi risiko kehamilan ektopik. Telah
dilaporkan terjadinya nyeri panggul kronik dan dispareunia.
Sindroma Fitz-Hugh-Crutis adalah terjadinya
perlengketan fibrosa perihepatik akibat proses peradangan PID. Ini dapat
menyebabkan nyeri akut dan nyeri tekan kuadran kanan atas (Sarwono,2011;h.231).
1.
Infertilitas
PID dapat menyebabkan terbentuknya
jaringan parut pada tuba fallopi. Jaringan parut tersebut dapat menyumbat
saluran tuba fallopi dan mencegah sel telur untuk dibuahi.
2.
Kehamilan ektopik
Jaringan parut yang terbentuk pada
PID juga dapat mencegah sebuah sel telur yang telah dibuahi melanjutkan
perjalanannya menuju ke uterus. Sebaliknya, sel telur yang dibuahi tersebut
dapat mulai bertumbuh di tuba fallopi. Akibatnya tuba fallopi dapat mengalami
rupture (pecah) dan menyebabkan terjadinya perdarahan pada rongga abdomen
(perut) dan pelvis
(panggul) yang mengancam jiwa
penderitanya. Tindakan pembedahan emergensi (darurat) mungkin sekali dibutuhkan
apabila kehamilan ektopik tidak terdiagnosis secara dini.
3.
Nyeri pelvis kronis. PID dapat
menimbulkan nyeri pelvis yang bertahan lama.
(Marmi,2013;h.203)
DAFTAR PUSTAKA
Manuaba, Ida Ayu
Chandranita, dkk. 2009. Memahani
Kesehatan Reproduksi Wanita. EGC: Jakarta
Marmi. 2013. Kesehatan Reproduksi. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta
Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan.Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo: Jakarta
Widyastuti,Yani
dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi.
Fitramaya: Yogyakarta