Blogger Widgets Arum.S: Oktober 2014

Laman

Rabu, 08 Oktober 2014

makalah iss PID (Pelvic Inflammatory Disease)


PELVIC INFLAMMATORY DISEASE
A.    Pengertian
Penyakit Radang Panggul (PID: Pelvic Inflammatory Disease) adalah infeksi pada alat genital atas. Proses penyakitnya dapat meliputi endometrium, tubafalopii, ovarium, miometrium, parametria, dan peritonium panggul. PID adalah infeksi yang paling peting dan merupakan komplikasi infeksi menular seksual yang paling biasa (Sarwono,2011; h.227)
Pelvic Inflamatory Disease adalah suatu kumpulan radang pada saluran genital bagian atas oleh berbagai organisme, yang dapat menyerang endometrium, tuba fallopi, ovarium maupun miometrium secara perkontinuitatum maupun secara hematogen ataupun sebagai akibat hubungan seksual. (Yani,2009;h.45)
Pelvic Inflamatory Diseases (PID) adalah infeksi alat kandungan tinggi dari uterus, tuba, ovarium, parametrium, peritoneum, yang tidak berkaitan dengan pembedahan dan kehamilan. PID mencakup spektrum luas kelainan inflamasi alat kandungan tinggi termasuk kombinasi endometritis, salphingitis, abses tuba ovarian dan peritonitis pelvis. Biasanya mempunyai morbiditas yang tinggi. Batas antara infeksi rendah dan tinggi ialah ostium uteri internum (Marmi, 2013; h.198)
Menurut Yani (2009;h.45-50) bentuk-bentuk PID:
1.      Endometritis
Endometritis adalah suatu peradangan pada endometrium yang biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri pada jaringan.
Endometritis paling sering ditemukan terutama:
a.       Setelah seksio sesarea
b.      Partus lama atau pecah ketuban yang lama
Diagnosa banding endometritis meliputi infeksi traktus urinarius, infeksi pernafasan, septicemia, tromboflebitis pelvis, dan abses pelvis.
Penatalaksanaan pada endometritis:
a.       Pemberian antibotika dan drainase yang memadai
b.      Pemberian cairan intra vena dan elektrolit
c.       Penggantian darah
d.      Tirah baring dan analgesia
e.       Tindakan bedah

Menurut Yani (2010;h.46-47) endometritis dibagi 2:
1)      Endometritis akut
Pada endometritis akut endometrium mengalami endema dan hiperemi terutama terjadi pada post partum dan post abortus.
Penyebab :
a)      Infeksi gonorhoe dan infeksi pada abortus dan partus
b)      Tindakan yang dilakukan di dalam uterus seperti pemasangan IUD, kuretase
Gejala-gejala :
a)      Demam
b)      Lochia berbau
c)      Lochia lama berdarah bahkan metrorhagia
d)     Tidak menimbulkan nyeri jika radang tidak menjalar ke parametrium atau perimetrium
Penatalaksanaan :
Dalam pengobatan endometritis akut yang paling penting adalah berusaha mencegah agar infeksi tidak menjalar. Adapun pengobatannya adalah:
a)      Uterotonik
b)      Istirahat, letak fowler
c)      Antibiotik

2)      Endometritis kronika
Endometritis tidak sering ditemukan. Pada pemeriksaan microscopic ditemukan banyak sel-sel plasma dan limfosit
Gejala-gejala klinis endometritis kronika :
a.)    Leukorea
b.)    Kelainan haid seperti menorhagie dan metrorhagie.

Pengobatannya tergantung pada penyebabnya, endometritis kronika ditemukan :
a.)    Pada tuberculosis
b.)    Pada sisa-sisa abortus atau partus yang tertinggal
c.)    Terdapat corpus alineum di cavum uteri
d.)   Pada polip uterus dengan infeksi
e.)    Pada tumor ganas uterus
f.)     Pada salpingo ooforitis dan selulitis pelvic
2.      Myometritis
Biasanya tidak berdiri sendiri tetapi lanjutan dari endrometritis, maka gejala-gejala dan terapinya sama dengan endrometritis. Diagnosa hanya dapat dibuat secara patologi anatomis.
3.      Parametritis (celulit pelvica)
Parametritis yaitu radang dari jaringan longgar didalam ligament latum. Radang ini biasanya unilateral.
Diagnose banding adnexitis lebih tinggi dan tidak sampai kedinding panggul biasanya bilateral.
Etiologi parametritis dapat terjadi:
a.       Dari endometritis dengan 3 cara
1)      Percontinuitatum: endometritis, metritis, paraetritis
2)      Lymphogen
3)      Haematogen: phlebitis, periphelbitis, parametritis.
b.      Dari robekan servik
Perforasi uterus oleh alat-alat (sonde, kuret, IUD).
Gejala:
1)      Suhu tinggi dengan demam menggigil
2)      Nyeri unilateral tanpa gejala rangsangan peritoneum, seperti muntah, derense dll. Terapi antibiotic.
4.      Salpingitis akut
Diagnose banding kehamilan ektopik, tidak ada demam, KED tidak tinggi, dan leokosite tidak seberapa. Jika tes kehamilan positif, maka adneksitis dapat dikesampingkan, tetapi jika negative keduanya mungkin.
Appendicitis tempat nyeri tekan lebih tinggi (Mc burney).
Salpingitis menjalar ke ovarium hingga terjadi oophoritis. Salpingitis dan oophoritis diberi diberi nama adnexitis.
Etiologi paling sering disebabkan oleh gonococcus, disamping itu oleh staphylococcus, streptococcus dan bactery tbc.
Infeksi dapat terjadi sebagai berikut:
a.       Naik dari kavum uteri
b.      Menjalar dari alat yang berdekatan seperti dari appendiks yang meradang
c.       Haematogen terutama salpingitis tuberculosa. Salpingitis biasanya bilateral.
Gejala:
a.       Demam tinggi dengan menggigil
b.      Nyeri perut kanan kiri bawah, terutama jika ditekan
c.       Defense kanan dan kiri atas ligament pourpart
d.      Mual dan muntah ada gejala abdomen akut karena terjadi rangsangan peritoneum
e.       Terkadang ada tendensi pada anus karena proses dekat pada rectum dan sigmoid
f.       Pada periksa dalam, nyeri jika portio digoyangkan, nyeri kiri dan kanan dari uterus terkadang ada penebalan dari tuba.
5.      Pelvioperitonitis (Perimetritis)
Biasanya terjadi sebagai lanjutan dari salpingoophoritis. Kadang – kadang terjadi dari endometritis.
Etiologi :
a.       GO
b.      Sepsis ( Post partum dan post abortus )
c.       Dari appendicitis.
Pelvioperitonitis dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan dari alat-alat dalam rongga panggul dengan akibat perasaan nyeri atau ileus.
Dapat dibedakan menjadi 2 bentuk:
a.       Bentuk yang menimbulkan perlekatan-perlekatan tanpa pembuatan nanah.
b.      Bentuk dengan pembentukan nanah yang menimbulkan douglas abses.
1)      Pelvioperitonitis akut
Gejala : Nyeri diperut bagian bawah.
Diagnosa :
Pada periksa dalam teraba infiltrat dalam cavum douglasi, tapi kadang-kadang hanya ada penebalan lipatan cavum douglasi yang teraba sebagai piggir yang keras. Sebagai akibat pelveoperitonitis dapat terjadi douglas abces. Douglas abcas ini dapat pecah ke dalam rectum atau ke dalam fornix posterior vaginae.
Douglas abses dapat terjadi karena :
a)      Nanah yang keluar dari salpingitis purulenta.
b)      Pyosalping yang pecah.
c)      Haematocele retrouterina yang terinfeksi.
d)     Abses ovarium yang pecah.
e)      Dari abses appendiculer.
f)       Pelveoperitonitis purulenta.
g)      Perforasi usus pada typus abdominalis ( terutama dinegara yang sedang berkembang).
Gejala :
a)      Demam intermitens, pasien menggigil.
b)      Tanesmi ad anum.
Diagnosa :
a)      Pada periksa dalam teraba masa yang kenyal yang berfluktuasi dalam cavum douglasi dan nyeri tekan.
b)      KED tinggi dan gambaran darah toksis.
Diagnosa banding :
a)      Haematocele retroutenia : terjadi lambat laun dan setelah beberapa lama menjadi keras.
b)      Tumor tumor retrouterin: biasanya batas batasanya jelas, kadang kadang dapat digerakkan.
c)      Abses dalam parametrium: terletak dalam ligamen sakro uterinum
Terapi :
a)      Antibiotik bordspecrtum
b)      Istirahat dalam letak flower
c)      Opiat untuk mengurangi rasa nyeri
d)     Infus untuk mempertahankan galance elektrolit
e)      Dekompresi dengan Abott  Miller Tube
f)       Pada douglas abses dilakukan kolpotomia posterior , kalau setelah kolpotomi  tidak segera ada perbaikan harus dicari sebab-sebab ekstra genital, misal perforasi usus karena typus abdominalis.

B.     Etiologi
Kebanyakan PID merupakan sekuele dari infeksi serviks karena penyakit menular seksual yang terutama disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae dan Chlamidia trachomatis. Selain kedua organisme ini, mikroorganisme yang dapat menyebabkan terjadinya PID adalah:
a.       Cytomegalovirus (CMV) : CMV ditemukan di saluran genital bagian atas pada wanita yang mengalami PID, diduga merupakan penyebab yang penting untuk terjadinya PID
b.      Mikroflora endogenic
c.       Gardnerella vaginalis
d.      Haemophilus influenza
e.       Organisme enteric gram negative (E.coli)
f.       Spesies peptococcus
g.      Streptococcus agalactia
h.      Bacteroides fragilis, yang dapat menyebabkan dekstruksi tuba dan epitel
(Marmi,2013;h.199)




C.    Manifestasi Klinis
Gejala pelvic inflamatory desease :
1.      Tegang nyeri abdomen bagian bawah
2.      Tegang nyeri adneksa unilateral dan bilateral
3.      Tegang nyeri pada pergerakan servik
4.      Temperatur di atas 38 o C
5.      Pengeluaran cairan servik atau vagina abnormal
6.      Peningkatan C reaktif protein
7.      Pada pemeriksaan lendir servik dijumpai clamidia trachomatis atau neisseria gonorhoe
8.      Laju endap darah meningkat
Diagnosis banding penyakit radang panggul adalah:
1.         Kehamilan ektopik yang pecah intak
2.         Toxis kista ovarium
3.         Appendicitis acuta
4.         Pervorasi dan typus abdominalis
(Yani,2009; h.46)

D.    Komplikasi
Komplikasi penyakit radang panggul (PRP) dapat berupa penyakit menaun dengan keluhan yang tidak pernah sembuh, terjadinya timbunan nanah dalam alat genetalia bagian dalam ( abses saluran telur dan indung telur, pernanahan di pelvis bagian bawah ), penyebaran melalui darah (sepsis), pernanahan pecah sehinggga memerlukan tindakan darurat.
(Ida ayu chandranita manuaba,2006;h.19)

Menurut Ida ayu chandranita manuaba (2006;h.20) komplikasi lanjut penyakit radang panggul dapat terjadi karena:
1.      Penyakit menahun dengan keluhan ketidaknyamanan di daerah kemaluan, gangguan menstruasi nyeri saat menstruasi (dismenorea), nyeri saat berhubungan seks (disparenia). Dan keputian (leukorea) yang sulit sembuh.
2.      Adanya infeksi penyakit hubungan seks atau melakukan gugur kandung yang kurang legeartis (sesuai prosedur).
3.      Pengobatan penyakit hubungan sekssual yang gagal, yang mengakibatkan gangguan fungsi alat genetalia bagian dalam.

E.     Penanganan
Terapi PID harus ditunjukan untuk mencegah kerusakan tuba yang menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik, serta pencegahan infeksi kronik. Banyak pasien yang berhasil diterapi dengan rawat jalan dan terapi rawat jalan dini harus menjadi pendekatan terapeutik permulan. Pemilihan antibiotika harus ditunjukan pada organisme etiologic utama ( N. gonorrhea atau C. trahomatis) tetapi juga harus mengarah pada sifat polimikrobial PID.
Untuk pasien denagn PID ringan atau sedang terapi oral dan parenteral mempunyai daya guna yang sama. Sebagian besar klinisi menganjurkan terapi parenteral paling tidak selama 48 jam kemudian dilanjutkan dengan terapi oral 24 jam setelah ada perbaikan klinis.
1.      Terapi Parenteral
a.       Rekomendasi terapi parenteral A
1)      Sefotetan 2  g intravena setiap 12 jam atau
2)      Sefoksitin 2 g intravena setiap 6 jam ditambah
3)      Doksisiklin 100 mg oral atau parental setiap 12 jam
b.      Rekomendasi terapi parenteral B
1)      Klindamisin 900 mg  setiap 8 jam ditambah
2)      Gentamisin dosis muatan intravena atau intramuskuler  (2 mg/kg berat badan) diikuti dengan dosis pemeliharaan (1,5 mg/kg berat badan) setiap 8 jam. Dapat digantikan dengan dosis tunggal harian.
c.       Terapi parenteral alternatif
Tiga terapi alternatif telah dicoba dan mereka mempunyai cakupan spektrum yang luas.
1)      Levofloksasin 500 mg intravena 1x sehari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg intravena setiap 8 jam atau.
2)      Ofloksasin 400 mg intravena setiap 12 jam dengan atau tanpa metronidazol 500 mg intravena setiap 8 jam.
3)      Ampisilin/sulbaktam 3 g intravena setiap 6 jam ditambah doksisiklin 100 mg oral atau intravena setiap 12 jam.
2.      Terapi Oral
Terapi oral dapat dipertimbangkan umtuk penderita PID ringan atau sedang karena kesudahan klinisnya sama dengan terapi parenteral. Pasien yang mendapat terapi oral dan tidak menunjukkan perbaikan setelah 72 jam harus dire-evaluasi untuk memastikan diagnosanya dan diberikan terapi parenteral baik dengan rawat jalan maupun inap.
a.       Rekomendasi terapi A
1)      Levofloksasin 500 mg oral 1x setiap hari selama 14 hari atau doksisiklin 400 mg 2x sehari selama 14 hari, dengan atau tanpa
2)      Metronidazol 500 mg oral 2x sehari selama 14 hari.
b.      Rekomendasi terapi B
1)      Seftriaxon 250 mg intramuskuler dosis tunggal ditambah doksisiklin oral 2x sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg oral 2x sehari selama 14 hari, atau
2)      Sefoksitin 2 g intramuskuler dosis tunggal dan probenesid ditambah  doksisiklin oral 2x sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg oral 2x sehari selama 14 hari, atau
3)      Sefalosporin generasi ketiga (misal seftizoksin atau sefotaksim) ditambah doksisiklin oral 2x sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg oral 2x sehari selama 14 hari.
(Sarwono.2011;h.230)

F.     Dampak
Sekitar 25 % pasien PID mengalami akibat buruk jangka panjang. Infertilitas terjadi sampai 20 %. Perempuan dengan riwayat PID mempunyai 6 sampai 10 kali lebih tinggi risiko kehamilan ektopik. Telah dilaporkan terjadinya nyeri panggul kronik dan dispareunia.
Sindroma Fitz-Hugh-Crutis adalah terjadinya perlengketan fibrosa perihepatik akibat proses peradangan PID. Ini dapat menyebabkan nyeri akut dan nyeri tekan kuadran kanan atas (Sarwono,2011;h.231).
1.      Infertilitas
PID dapat menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada tuba fallopi. Jaringan parut tersebut dapat menyumbat saluran tuba fallopi dan mencegah sel telur untuk dibuahi.
2.      Kehamilan ektopik
Jaringan parut yang terbentuk pada PID juga dapat mencegah sebuah sel telur yang telah dibuahi melanjutkan perjalanannya menuju ke uterus. Sebaliknya, sel telur yang dibuahi tersebut dapat mulai bertumbuh di tuba fallopi. Akibatnya tuba fallopi dapat mengalami rupture (pecah) dan menyebabkan terjadinya perdarahan pada rongga abdomen (perut) dan pelvis (panggul) yang mengancam  jiwa penderitanya. Tindakan pembedahan emergensi (darurat) mungkin sekali dibutuhkan apabila kehamilan ektopik tidak terdiagnosis secara dini.
3.      Nyeri pelvis kronis. PID dapat menimbulkan nyeri pelvis yang bertahan lama.
(Marmi,2013;h.203)

















DAFTAR PUSTAKA

Manuaba, Ida Ayu Chandranita, dkk. 2009. Memahani Kesehatan Reproduksi Wanita. EGC: Jakarta
Marmi. 2013. Kesehatan Reproduksi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan.Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta
Widyastuti,Yani dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Fitramaya: Yogyakarta